Jumat, 12 April 2013

Fiqih dan Syari'ah



A.  Fiqih
Islam sebagai agama yang diturunkan Allah sebagai aqidah dan syariat terakhir bagi manusia. Karenanya, Allah menjadikan syariat lengkap, utuh dan konprehensif. Sehingga syariat yang tak lekang oleh jaman dan perubahan ini patut menjadi pegangan hidup dan undang-undang serta rujukan hukum manusia dimana pun dan kapan pun berada. Sebab di dalam syariat ini diciptakan sedemikian rupa oleh Allah sehingga sesuai dengan kepentingan manusia dan realitas yang dihadapi.
Fiqih Islam adalah ruh dan spirit yang selama 14 abad lamanya menjaga bangunan syariat sehingga tetap utuh dan kokoh dalam kondisi apa pun. Disamping itu, selama rentang tersebut Fiqih menjadi unsur penopang dan pendukung bagi peradaban dan kemajuan ilmu
pengetahun karena selalu sinkron dan selaras.
Untuk lebih mendalam, berikut uraian pengertian Fiqih Islam, karakter khusus, sejarah dan hal lain yang terkait dengannya.


A.      Pengertian Fiqih Islam

Fiqih di fase pertama Islam

Makna fiqih secara bahasa adalah memahami. Seperti dalam ayat Al Quran Allah menceritakan ucapan kaum Syuaib

“Mereka berkata: "Hai Syuaib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami” ( Hud: 91)
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)".
Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?” (An Nisa: 78)
Fiqih menurut orang Arab adalah pemahaman dan ilmu. Setelah Islam datang nama fiqih digunakan untuk ilmu agama karena tingkat kemuliaannya dibanding ilmu-ilmu lain. Jika kita temui istilah fiqih di masa generasi pertama Islam maka yang dimaksud adalah ilmu agama, tidak lain. Sedang ilmu agama yang dimaksud di masa itu adalah ilmu yang terkait dengan Al Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Makna ini dapat kita temui dalam hadis Rasulullah saw. “Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar satu hadis dari kami, kemudian ia hafalkan dan ia sampaikan kepada orang lain. Sebab ada orang yang membawa fiqih (hadis) disampaikan kepada orang yang lebih faqiih (paham) darinya, dan ada orang yang membawa fiqih tapi tidak faqiih,”Jelas, bahwa yang dimaksud Rasulullah saw. dalam hadis di atas adalah ilmu yang dibawah dan disampaikan adalah sabda beliau saw.
Jadi, yang dimaksud faqiih adalah orang memiliki ilmu yang mendalam dalam agamanya dari teks-teks agama yang ada dan ia mampu menyimpulkan menjadi hukum-hukum, pelajaran-pelajaran, faidah yang terkandung dalam teks agama tersebut. Ini kesimpulan dari sabda Rasululullah di atas “Sebab ada orang yang membawa fiqih (hadis) disampaikan kepada orang yang lebih faqih (paham) darinya, dan ada orang yang membawa fiqih tapi tidak faqiih,” yang dimaksud “lebih faqih (paham) darinya,” adalah ia lebih memiliki kemampuan memahami maksud Allah dan hukum-hukum syariat. Dan maksud “tapi tidak faqiih” yang tidak memiliki kemampun menyimpulkan hukum dan ilmu yang terkandung dalam teks agama yang ada.
Istilah ahli fiqih di kalangan sahabat dan tabiin adalah mereka yang memiliki ilmu mendalam tentang agama Allah dan sunnah Rasulullah saw. Ciri luar seorang ahli fiqih sangat seperti yang disebutkan dalam salah satu hadis Rasulullah saw.”panjangnya shalat seseorang dan singkatnya khutbahnya adalah bagian dari fiqihnya,” Juga perkataan Ibnu Masud,”Termasuk fiqih seseorang, mengatakan tentang sesuatu yang tidak ia ketahui; Allah lebih tahu,”Jadi makna fiqih di masa pertama Islam mencakup seluruh masalah dalam agama Islam, baik yang mencakup masalah akidah, ibadah, muamalat dan lain-lain. Karenanya, Abu Hanifah menamai tulisannya tentang akidah dengan “Al Fiqhul Akbar”.

Definisi Fiqih

Dalam istilah, Fiqih diartikan.

العلم بالأحكام الشرعية العلمية المكتسب من أدلتها التفصيلية

”Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil secara rinci,”

Penjelasan definisi:

Ilmu: ia merupakan ilmu yang memiliki obyek dan kaidah tertentu.

Hukum-hukum syariat: hukum-hukum ini bersifat syariat yang diambil dari Al Quran, sunnah, ijma’, qiyas, bukan ilmu logika, matematika, fisika.

Amaliyah: fiqih hanya membahas hukum-hukum praktis (amaly) perbuatan manusia dari masalah ibadah, muamalah. Jadi fiqih tidak membahas masalah keyakinan atau ilmu kalam atau ilmu akidah.
Yang diambil: fiqih adalah kesimpulan hukum-hukum bersifat baku hasil ijtihad ulama yang bersumber dari Al Quran, sunnah, ijma, qiyas dan dalil-dalil yang ada.

Obyek Pembahasan Fiqh
Fiqih merupakan hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, Allah, antar manusia baik secara individu atau kelompok masyarakat dan antar negara. Ulama kemudian membagi bidang garapan fiqih menjadi dua;
1. Bidang ibadah
2. Bidang mualamat.
Bidang ibadah bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, seperti shalat, puasa, zakat, haji, nadzar dan lain-lain. Sementara bidang muamalat bertujuan mengatur hubungan dan kepentingan indifidu atau kelompok seperti jual beli, sewa menyewa, menikah, talak, dan lain-lain.
Masing-masing bidang di atas memiliki ciri khusus yang membedakan dengan lainnya. Misalnya, ulama menyebutkan bahwa bidang ibadah bersifat tauqifi, artinya; tujuan, illat (alasan pensyariatan), dan hikmahnya utama pelaksaan ibadah hanya diketahui oleh Allah, atau para ulama fiqih mengistilahkan ghairu ma’qulatil ma’na (sesuatu yang tujuannya tidak bisa dinalar). Sementara bidang kedua, yaitu muamalat, tujuan dan rahasia penysyariatannya bisa diketahui dengan akal dan logika, atau lebih dikenal ma’qulatul ma’na. Karena, sebagian ulama di masa tertentu
banyak menggunakan dalil aqli (dasar dari logika) dalam hal muamalat.
Obyek pembahasan ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf (orang yang dibebani oleh syariat yaitu mereka yang berakal, baligh) yang berupa ibadah atau muamalat.

Keistimewaan Fiqh

Seperti yang diuraikan di atas, bahwa fiqih adalah ilmu yang membahas bidang amali dalam syariat Islam. Syariat itu sendiri adalah tuntutan Allah kepada untuk hamba-Nya baik melalui Al Quran atau Sunnah, baik dalam bentuk keyakinan (akidah) atau mekanisme mendekatkan diri kepadanya dengan ibadah.
Fiqih sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, masa sahabat dan seterusnya hingga kini. Di zaman sahabat fiqih berkembang karena kebutuhan manusia untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari realitas yang mereka hadapi saat itu. Sejak saat itu fiqih menjadi kebutuhan manusia hingga saat sekarang. Sebab setiap manusia membutuhkan kepastian hukum dalam menyikapi kenyataan hidup mereka. Sejak saat itu Fiqih menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar hingga sekarang. Sehingga fiqih menjadi system yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan antara manusia dengan manusia dan makhluk lainnya, setiap manusia mengetahui hak dan kewajibannya, memenuhi hal-hal yang bermaslahat dan menolak yang memadlaratkan.
Selama 14 abad Fiqih Islam menjadi referensi hukum dan akan berlangsung hingga hari kiamat. Ini karena Fiqih memiliki sifat universal dan konprehensip sebab syariat Islam merupakan agama terakhir di bumi.


Beberapa Keistimewaan Fiqih Islam


1.      Sumber Fiqih adalah wahyu Allah.

Berbeda dengan undang-undang buatan manusia (ahkam wadl’i) yang bersumber dari akal dan nalar manusia, fiqih bersumber dan berorientasi kepada wahyu Allah, Al Quran dan Sunnah. Setiap mujtahid (ahli fiqih yang memiliki kemampuan mengambil hukum dari sumber fiqih yang ada) terikat dengan Al Quran dan sunnah. Bukan menuruti logikanya atau ilmu filsafat. Kesimpulan hukum yang dihasilkan terkadang merupakan makna turunan secara langsung atau sesuai dengan ruh syariat, atau tujuan umum dari syariat Islam.
Karena sumber fiqih adalah wahyu Allah maka ia sangat sesuai dengan tuntutan manusia dan kebutuhan manusia secara keseluruhan. Sebab Allah adalah Pencipta manusia yang mengetahui seluk beluk manusia itu sendiri baik yang lahir atau yang batin.
Allah berfirman
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui ; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (Al Mulk: 14)
Allah menciptakan syariat yang lengkap mengatur seluruh bidang kehidupan manusia. Allah berfirman

“Diharamkan bagimu bangkai, darah , daging babi, yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala. Dan mengundi nasib dengan anak panah , adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Maidah: 3)
Jika dibandingkan dengan undang-undang dan hukum yang dibuat manusia, perbedaan antara keduanya sangat jauh, seperti bedanya antara Pencipta jagad raya, Allah dengan makluknya yang kecil. Hukum yang dibuat manusia banyak kelemahan dan keterbatasan karena ia produk akal manusia yang serba terbatas. Akal manusia tidak mengetahui hakikat jiwa manusia dan kebutuhan dirinya sesuai dengan fitrah penciptaan yang digariskan oleh Allah. Sehingga hasil pikiran manusia banyak yang tidak sesuai dengan tabiat manusia itu sendiri.
Jalan satu-satunya adalah kembali kepada hukum yang diciptakan oleh Allah, Tuhan Yang Maha Tahu tentang manusia.


2.      Fiqih mencakup semua tuntutan kehidupan.

Dibanding dengan hukum-hukum lain, Fiqih memiliki keistimewaan bahwa ia mencakup tiga hubungan manusia; hubungan manusia dengan Allah sebagai Tuhan satu-satunya, hubungan dengan dirinya sendiri, dan hubungan dengan masyarakat. Sebab fiqih ini adalah untuk kepentingan dunia dan akhirat, kepentingan agama dan negara, dan untuk semua manusia hingga hari kiamat. Hukum-hukum fiqih adalah perpaduan kekuatan antara akidah, ibadah, akhlak, dan muamalat. Dari kesadaran jiwa, perasaan tanggung jawab, merasa diawasi Allah dalam segala kondisi, penghargaan atas hak-hak maka lahirlah sikap ridla, ketenangan, keimanan, kebagiaan, dan kehidupan individu social yang teratur.
Hukum-hukum terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti hukum-hukum shalat, puasa, dan lain-lain. Sebagian ahli fiqih menyatakan bahwa jumlah ayat yang berkenaan dengan ibadah ini ada 140 ayat. Hukum yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya, seperti apa yang boleh dia lakukan dan apa yang tidak boleh dari makanan, minuman dan pakaian. Hal ini disyariatkan untuk menjaga diri manusia; akal dan fisik. Untuk hubungan manusia dengan sesama diatur dengan hukum-hukum muamalat dan uqubat (hukum pidana), seperti jual beli, sewa-menyewa, nikah, qishash, hudud, ta’zir, peradilan, persaksian.
Untuk itu dalam fiqih ada dua bab besar dalam fiqih yaitu hukum-hukum ibadah dan hukum-hukum mualat, seperti yan dijelas sebelumnya. Dengan demikian, fiqih diciptakan untuk menjaga lima prinsip dasar manusia; yaitu akal, agama, jiwa, agama, dan kehormatan. Maka fiqih sesungguhnya ingin mecetak manusia yang religi, sehat akal, sehat jiwa, terhormat, suci hartanya.

Hukum-hukum muamalat
Ahwal syakhsiyah:
yaitu yang terkait dengan keluarga, termasuk hukum-hukum pernikahan, talak, nasab, nafkah, warisan. Hukum-hukum ini bertujuan mengatur hubungan antara suami istri dan kekerabatan yang lebih dikenal dengan "hukum perdata".

Ahkam madaniyah
Hukum-hukum kemasyarakatan, yaitu terkait dengan transaksi personal berupa jual beli, sewa menyewa, pergadaian, kafalah (asuransi), kerja sama, hutan piutang, menepati janji. Hukum-hukum ini bertujuan mengatur hubungan personal dari sisi harta dan keuangan sehingga hak-hak masing-masing terjaga.

Ahkam jinaiyah
Hukum kriminalitas yang dilakukan oleh seseorang dan sanksi yang dikenakan. Tujuan dari hukum ini adalah menjaga eksistensi kehidupan manusia, harta, kehormatan dan hak-hak mereka, memberi kepastian hubungan antara korban criminal dan pelaku criminal, dan menciptakan keamanan. Dalam Al Quran terdapat sekitar 30 ayat terkait dengan hukum-hukum kriminalitas.

Ahkam murafaat
hukum-hukum peradilan, tuntutan hukum, persaksian, sumpah, dan lain-lain. Tujuannya adalah mengatur prosedur penegakan keadilan antara menusia dengan syariat Islam. Dalam Al Quran terdapat sekitar 20 ayat yang berbicara mengenai masalah ini.

Ahkam dusturiyah
Hukum yang terkait dengan perundang-undang yang mengatur antara penguasa dan rakyat dan menjelaskan hak dan kewajiban indifidu dan kelompok.

Ahkam Dauliyah
Hukum-hukum yang mengatur hubungan negara Islam dengan negara lainnya terkait dengan perdamaian dan perang, hubungan antara warga negara non muslim dengan negara Islam yang ia tinggali, hukum-hukum jihad dan perjanjian. Tujuannya agar tercipta kerja sama, saling menghormati antar satu negara dengan lainnya.

Ahkam Iqtishadiyah Wal Maaliyah
Hukum-hukum yang terkait dengan hak-hak indifidu terhadap harta benda (kepemilikan), hak-hak dan kewajiban negara di bidang harta benda, pengaturan sumber kekayaan negara dan anggaran-anggarannya. Tujuannya adalah mengatur hubungan kepemilikan antara orang yang kaya dan miskin dan antara negara dengan warga negara.
Ini mencakup harta benda negara, seperti harta rampasan, pajak, kekayaan alam, harta zakat, sadakah, nazar, pinjaman, wasiat, laba perdagangan, harta sewa menyewa, perusahaan, kaffarat, diyat dan lain-lain.

Fiqih memberikan konsep agama tentang halal haram
Semua perbuatan, sikap dan tindakan social dalam fiqih selalu ada konsep agama tentang halal haram. Dalam hal ini ada dua bentuk hukum muamalat:
a.Hukum duniawi yang diambil beradasarkan indikasi tindakan dan bukti lahir dan tidak ada hubungannya dengan batin. Ini adakah hukum pengadilan; karena seorang hakim memberikan vonis sesuai dengan bukti yang ada semampunya. Vonis hakim ini tidak bisa mengubah sesuatu yang batil menjadi benar dan. sebaliknya dalam realitas, tidak mengubah yang haram menjadi halal dan sebaliknya. Vonis seorang hakim bersifat mengikat, berbeda dengan fatwah.

b. Hukum ukhrawi yang didasarkan kepada sesuatu yang sebenarnya (hakikat sesuatu baik yang lahir atau batin. Hal ini berlaku antara seseorang dengan Allah. Hukum inilah yang dijadikan dasar oleh seorang ahli fatwah; fatwah adalah pemberian informasi tentang hukum syariat tanpa mengikat.
Kedua jenis hukum inilah yang ditegaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Malik, Ahmad dan lainnya,”Sesungguhnya aku manusia. Jika kalian bersengketa kepadaku, mungkin salah satu dari kalian lebih kuat bukti dan alasannya dari yang lain, maka saya
menghukumi berdasarkan apa yang saya dengar. Jika saya memutuskan sesuatu yang berpihak kepada seseorang dengan mengambil hak seorang muslim secara tidak benar (tanpa saya ketahui) maka itu adalah potongan dari neraka. Jika ia mau silahkan mengambil atau meninggalkannya.”
Hukum-hukum dunyawi semacam ini kebanyakan terkait dengan talak (perceraian), sumpah, utang, pelepasan hak, pemaksaan. Misalnya, seseorang yang secara tidak sengaja mencerai istrinya. Maka keputusan hakim adalah jatuh talak sementara menurut hukum ukhrawi tidak jatuh talak.

Fiqih memiliki landasan kaidah yang paten dan fleksibel dalam penerapan
Landasan itu adalah Al Quran dan sunnah tertulis dengan rapi dan teliti. Teks-teks di kedua sumber ini bersifat suci dan sacral yang mengandung hukum-hukum global dan tidak terinci. Ini memungkinkan para ahli fiqih melakukan ijtihad menyimpulkan hukum secara terinci sesuai dengan kondisi dan realitas dilapangan. Namun demikian ada batasan yang selalu dijaga oleh para mujtahid. Muncullah kemudian kaidah-kaidah fiqih yang dijadikan pegangan dalam pengambilan hukum.
Nash-nask (teks) syariat, misalnya, tidak menyinggung system hukum secara detail, tapi hanya memberikan garis besarnya seperti; menjamin keadilan antar rakyat, taat kepada ulil amr (penguasa pemerintahan), konsep syura, kerja sama dalam kebajikan dan ketakwaan dan seterusnya.
Penerapan garis-garis besar itu diserahkan kepada kondisi dan realitas di lapangan. Yang terpenting adalah bagaimana tujuannya tercapai terlepas dari sarana yang digunakan asal tidak bertentangan dengan syariat.

Sebaliknya, fiqih memberikan kemudahan dan keringanan kepada manusia. Islam hanya mewajibkan shalat lima kali sehari semalam. Jika tidak mampu dilakukan dengan berdiri, boleh dilakukan dengan duduk, jika tidak mampu duduk, maka dengan berbaring. Dan keringanan lain terkait dengan tayammum, shalat qasar, jamak, qadla, dan lain-lain. Juga ada keringanan dalam puasa, zakat, kaffarat (denda) akibat kesalahan yang dilakukan.
Allah berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (Al Baqarah: 185)
dan ada ayat lain yang menegaskan hal ini.
Karenanya, Allah juga melarang kepada seseorang untuk menyakan sesuatu yang menimbulkan hukum yang lebih berat.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur'an itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah mema'afkan tentang
hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al Maidah: 101).


Fiqih adalah khazanah Islam yang luas.
Sepanjang sejarah, tidak ada referensi dan karangan yang sarat dengan khazanah ilmu dan pemikiran melebihi fiqh. Di sana akan ditemui segala macam pandangan ulama dari berbagai mazdhab dan aliran.
Dalam Ahli sunnah ada empat aliran fiqih besar dan masing-masing madzah memiliki riwayat dan pendapat, baik yang disepakati atau yang dipersilihkan dan setiap pandang memiliki alasan dan dalil. Setiap masalah dalam kehidupan manusia seakan tak luput dari pembahasan fiqih dari masalah yang terkecil hingga terbesar.

Fiqih selalu sesuai dengan perkembangan zaman.
Fiqih memiliki kaidah yang tidak akan berubah hingga akhir zaman, seperti kaidah; transaksi harus dilakukan saling ridla, pemberian ganti rugi jika ada kerusakan, pemberantasan criminal, pemeliharaan hak-hak, tanggung jawab individu. Sementara fiqih yang didasarkan atas qiyas, masalahil mursalah, dan adat istiadat bisa berubah sesuai dengan kebutuhan zaman dan kemaslahatan manusia, dengan batasan yang tidak bertengangan dengan syariat.

Sumber Hukum Dalam Fiqih
Sumber fiqh adalah dalil-dalil yang dijadikan oleh syariat sebagai hujjah dalam pengambilan hukum. Dalil-dalil ini sebagian disepakati oleh ulama sebagai sumber hukum, seperti Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Sebagian besar ulama juga menetapkan Qiyas sebagai sumber hukum ke empat setelah tiga sumber di atas.
Di samping itu ada beberapa sumber lain yang merupakan sumber turunan dari sumber di atas, seprti Istihsan, Masalihul mursalah, Urf, dan lain-lain. Perlu diketahui bahwa semua dalil-dalil yang ada bersumber dan berdasarkan dari satu sumber; Al Quran. Karena Imam Syafi'i mengatakan,"Sesungguhnya hokum-hukum Islam tidak diambil kecuali dari nash Al Quran atau makna yang terkandung dalam nash." Menurutnya, tidak ada hukum selain dari nash atau kandungan darinya. Meski, Imam Syafi'i membatasi maksudnya "kandungan nash" hanya dengan qiyas saja. Sementara ahli fiqh lainnya memperluas pengertian "kandungan nash".


A.      Sumber-sumber Pokok
Selain Qiyas sumber-sumber pokok fiqh disepakati oleh para ulama fiqh sebagai dalil pengambilan hukum.

1. Al Quran
Al Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Menurut ulama Ushul Al-qur’an adalah, “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang ditulis dalam mushhaf, berbahasa arab, dinukilkan kepada kita dengan jalan mutawatir, diawali dari surat Al-Fatihah, diakhiri dengan surat An-Nas dan membacanya merupakan ibadah.
Al Quran menjelaskan rambu-rambu masalah akidah dengan secara rinci, namun masalah ibadah dan hak-hak antar sesame dengan cara garis besar. Dalam syariat Islam Al Quran adalah undang-undang dalam menetapkan aturan social. Ia sebagai tuntutan bagi Nabi saw. dan pengikutnya. Karenanya, ia merupakan sumber utama dan pertama.
Banyak hukum-hukum mengenai ibadah dalam Al Quran disebutkan secara garis besar seperti hukum-hukum shalat, puasa, zakat dan tidak dijelaskan secara cara melakukan shalat atau kadar yang dikeluarkan dalam zakat. Penjelasan rinci mengenai hal-hal tersebut terdapat dalam Sunnah baik dengan perkataan atau perbuatan Rasulullah saw.
Demikian hal dengan perintah Al Quran untuk memenuhi perjanjian dan akad serta halalnya jual beli dan haram riba disebutkan secara garis besar. Dalam Al Quran tidak dijelaskan secara terperinci akad dan traksaksi jual beli yang sah dan dibenarkan oleh syariat dan yang tidak dibenarkan.
Namun dalam beberapa hal, Al Quran memberikan penjelasan terperinci seperti masalah warisan, mekanisme Li'an (suami yang menuduh istrinya melakukan zina tanpa bukti yang cukup), sebagian hukuman hudud, perempuan yang haram dinikahi, dan beberapa hukum lainnya yang tidak berubah sepanjang zaman.
Penguraian secara garis besar, terutama dalam masalah hukum-hukum muamalat social, system politik membantu kita memahaminya dan memudahkan mempraktekknya dalam situasi yang berbeda dengan tetap berpegang dengan pemahanan yang benar.
Penguraian garis besar juga menegaskan bahwa Al Quran dirinci oleh Rasulullah saw. dalam menentukan mekanisme hukum, kadarnya, dan batasannya. Karenanya, Al Quran memberikan isyarat tentang tugas Sunnah dalam hal ini
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (Al Hasyr: 7)
Dari sini, maka sunnah adalah pintu masuk memahami Al Quran secara utuh.

2. As Sunnah
Menurut ulama hadits Sunnah adalah, “Apa-apa yang datang dari Nabi saw. berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat-sifat beliau baik sifat jasmani ataupun sifat akhlaq.
Sunnah merupakan sumber syariat Islam setelah Al Quran. Sunnah berfungsi merinci garis besar Al Quran, menjelaskan yang musykil, membatasi yang muthlak, dan memberikan penjelasan hukum. Sunnah juga merupakan sumber hukum independent (mustaqil) yang tidak ada hukumnya dalam Al Quran seperti warisan untuk nenek yang dalam sunnah disebutkan mendapatkan warisan 1/6 dari harta warisan.
Namun demikian Sunnah mengikut Al Quran sebagai penjelas sehingga sunnah tidak akan keluar dari kaidah-kaidah umum dalam Al Quran. Maka memahami Sunnah secara umum merupakan susuatu yang pasti dalam memahami Al Quran karena jika tidak kitab suci ini tidak mungkin bisa dipahami dan dipraktikkan dengan benar.
Sunnah sampai ke kita dengan melalui jalan periwayatan secara berantai hingga ke Rasulullah saw. Sebab masa kenabian sudah usai. Namun krediblititas agama dan moral para perawi (pembawa hadis) itu sudah melalaui seleksi ketat oleh para ahli hadis. Sehingga keotentikan hadis dan kebenarannya sudah melalui pembuktian yang ketat. Hadis shahih dan hasan saja yang bisa dijadikan sumber hukum.
Sementara hadis hadis yang berstatus lemah (dlaif), atau bahkan palsu (maudlu') yang tidak bisa dijadikan referensi dan sumber hukum syariat.
Kitab-kitab hadits yang dijadikan sumber utama adalah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kemudian kitab-kitab Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasai, Sunan At Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah. Disamping kitab Al Muwatta' karangan Imam Malik dan Musnad Ahmad karangan Imam Ahmad memiliki kedudukan penting bagi para ulama fiqh.
Jadi seorang ahli fiqh akan mencari dalil terlebih dahulu dari Al Quran kemudian dari Sunnah. Diriwayatkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bertanya kepada Muadz bin Jabal: Bagaimana kamu memutuskan masalah yang kamu hadapi? Muadz: Saya memutuskan dengan kitab Allah. Rasulullah: Bagaimana jika kamu tidak menemukan di dalamnya? Muadz: Dengan Sunnah Rasulullah," Kepada hakim Syuraih, Umar bin Khattab mengirim surat kepadanya yang berisi,"Hendaklah kamu memutuskan dengan kitab Allah, jika tidak menemukan maka dengan Sunnah Rasulullah saw."

3. Ijma'
Ijma' adalah kesepakatan para ahli fiqh dalam sebuah periode tentang suatu masalah setelah wafatnya Rasulullah saw tentang suatu urusan agama. Baik kesepakatan itu dilakukan oleh para ahli fiqh dari sahabat setelah Rasulullah saw wafat atau oleh para ahli fiqh dari generasi sesudah mereka. Contohnya ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun Islam.
Ijma' merupakan sumber hukum dalam syariat setelah Sunnah.
Menurut Imam Ibnu Taimiyah Ijma adalah, “Kesepakatan seluruh ulama Islam terhadap suatu masalah dalam satu waktu. Apbila telah terjadi ijma’ seluruh mujtahidin terhadap suatu hukum, maka tidak boleh bagi seseorang menyelisihi ijma trsebut, karena ummat (para mujtahidin) tidak mungkin bersepakat terhadap kesesatan.
Sejumlah ayat dan sunnah menjelaskan bahwa Ijma' adalah sumber dan hujjah dalam menetapkan hukum. Allah berfirman:
“Barangsiapa yang durhaka kepada Rasul setelah petunjuk datang dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman,” (An Nisa: 115)
Rasulullah saw. Bersabda,”Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan,” dalam riwayat lain “…dalam kesalahan,” Dalam hadis lain,”Apa yang menurut orang-orang Islam baik maka ia baik di sisi Allah dan apa yang menurut mereka buruk maka buruk di sisi Allah,”
Di hadits lain disebutkan,
”Barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja maka ia telah melepaskan ikatannya dari Islam”
Disamping itu Ijma' dilakukan berdasarkan dalil di dalamnya sebab tidak mungkin ulama dalam masa tertentu melakukan kesepakatan tanpa dalil syariat. Karenanya, para ulama mutaakhir (generasi belakangan) ingin mengetahui Ijma' maka yang dicari bukan dalil Ijma' namun kebenaran adanya Ijma' itu sendiri, apakah benar periwayatannya atau tidak.

4. Qiyas
Qiyas adalah menyamakan (menganalogikan) suatu perkara dengan perkara (yang sudah ada ketetapan hukumnya) dalam hukum syariat kedua kedua perkara ini ada kesamaan illat (pemicu hukum). Menurut ulama ushul qiyas adalah, “Memberlkukan suatu hukum yang sudah ada nashnya kepada hukum yang tidak ada nashnya berdasarkan kesamaan illat. Contoh, Allah mengharamkan khamar karena memabukan, maka segala makanan dan minuman yang memabukan hukumnya sama dengan khamar yaitu haram.
Dibanding dengan Ijma’, Qiyas lebih banyak memberikan pengaruh dalam pengambilan hukum yang dilakukan oleh para ulama fiqh. Ijma’ disyarakan harus disepakai semua ulama di suatu waktu dan tempat tertenu. Sementara Qiyas tidak disyaratkan kesepakatan ulama fiqh. Masing-masing ulama memiliki kebebasan untuk melakukan Qiyas dengan syarat-syarat yang sudah disepakati oleh para ulama.
Kenapa harus ada Qiyas? Sebab teks-teks Al Quran dan Sunnah sangat terbatas, artinya tidak keseluruhan masalah disebutkan hukumnya satu-satu persatu. Sementara kejadian-kejadian yang membutuhkan kepastian hukum syariat dalam kehidupan manusia sanga banyak dan setiap hari muncul kejadian-kejadian baru. Untuk memecahkan masalah itu diperlukan ijihad dari para ulama fiqh. Salah satu methode ijtihad tersebut disebut dengan Qiyas.
Hukum-hukum jual beli misalnya, Al Quran dan Sunnah menyebutkan lebih banyak dibanding dengan soal sewa menyewa. Maka para ahli fiqh kemudian melakukan Qiyas pada hukum-hukum sewa-menyewa dengan hukum-hukum dalam masalah jual beli karena kedua masalah ini memiliki
kesamaan; dari sisi keduanya adalah transaksi jual beli barang dan jasa.


B.      Sumber-sumber tabaiyah (turunan)

Disebut turunan karena sumber-sumber sesungguhnya diambil dan bermuara dari pemahaman baik langsung atau tidak terhadap Al Quran dan Sunnah.
1. Masalih mursalah
Atau dikenal juga Istislah. Yang artinya; mengambil hukum suatu masalah berdasarkan kemasalahatan (kebaikan) umum. Yaitu kemasalahatan yang oleh syariat tidak ditetapkan atau ditiadakan. Masuk dalam masalah adalah menghindarkan kerusakan baik terhadap indifidu atau masyarakat dalam banyak bidang.
Contoh maslahah mursalah adalah Umar bin Khatab dimasa kekhilafahannya membuat sebuah instansi untuk menangani gaji para pasukan kaum muslimin. Kemudian muncul instansi lainnya untuk menangani masalah-masalah lainnya.
Menurut sebagian ulama Mashlahatul Mursalah adalah, memelihara maksud Syara’ dengan jalan menolak segala yang merusakan makhluk. Contohnya, menaiki bis atau pesawat ketika melaksanakan ibadah haji walau itu tidak ada di zaman Rasulallah tidak tetapi boleh dilakkukan demi kemashlahatan ummat. Contoh lain, mendirikan sekolah, madrasah untuk thalabul ilmi, tegasnya melakukan hal-hal yang berhubungan dengan agama walau tidak ada di zaman Nabi boleh kita lakukan demi kemashlahatn ummat yang merupakan tujuan di syaria’atkanya agama.

2. Istidlal
Menurut Ibnu Hazm istidlal adalah, “Mencari dalil dari ketetapan-ketetapan akal dan natijah-natijah (kesimpulan) atau dari seorang yang lain yang mengetahuinya”. Menurut ulama lain, Istidlal adalah, “Pertalian antara dua hukumtanpa menentukan illat (sebab)nya. Misalnya, menentukan batalnya shalat kalau tidak menutup aurat, karena menutup aurat merupakan syarat shahnya shalat.
Contoh lain, haramnya menjual daging babi karena termasuk membantu dalam kedurhakaan.

3. Istishhab
Istishhab adalah, menetapkan hukum yang berlaku sekarang atau yang akan datang berdasarkan ketetapan hukum sebelumnya karena tidak ada yang merubahnya.
Misalnya, seseorang telah berwudlu, setelah beberapa saat ia ragu-ragu apakah ia sudah batal atau belum, maka ketetapan hukum seblumnya yaitu sudah berwudlu bisa dijadikan dalil bahwa ia masih punya wudlu. Sebagian ulama menamakan istishhab dengan “Baraatu Al-Dzimmah”.

4. Saddu Dzari’ah
Saddu Dzari’ah adalah, mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan atau menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan. Contoh, diharamkan menanam ganja atau opium untuk menutup kerusakan yang akan ditimbulkannya, yaitu orang-orang menggunakannya untuk memabukkan. Contoh lain, membuat diskotik karena biasanya sebgai tempat maksiat dan dosa.

5. Istihsan
Istihsan adalah berpindah dari suatu hukum dalam pandangannya kepada hukum yang berlawanan karena ada suatu yang dianggap lebih kuat, dengan pertimbangan hukum yang baru lebih baik karena kondisi dengan tanpa mengubah hukum asalnya, jika kondisi normal. Contohnya, orang yang mencuri di musim paceklik atau musim kelaparan tidak dipotong tangannya karena dimungkinkan ia mencurinya karena terpaksa.

6. 'Urf
'Urf atau kebiasaan adalah sesuatu yang biasa terjadi di kalangan kaum muslimin, misalnya jual beli yang harusnya pakai ijab qobul, pada suatu kondisi tidak apa-apa jika kebiasaan masyarakat disana idak melakukannya. Contoh lain, batasan safar yang membolehkan di qoshor shalat, tergantung kepada kebiasan masyarakat menamakan istilah safar tersebut.

7. Syar'u man qoblana
Maksudnya adalah syariat umat sebelum nabi Muhammad diutus, namun syariat Muhammad tidak menghapusnya dengan jelas. Selama tidak nash Al Quran dan hadis yang
menjelaskan bahwa syariat itu tidak dihapus maka ia termasuk syariat kita.


Isthilah-isthilah hukum fiqih

Pertama : Yang berkaitan dengan mukallaf (hukum taklif)
1. Fardhu
Adalah apa-apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh agama dengan tuntutan yang pasti dan harus, dengan dalil qath’I (pasti), Contohnya, rukun Islam yang lima, yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah mutawatirah, atau sesuatu yang termasyhur seperti membaca Al-qur’an dalam shalat. Maka jika hukum yang fardlu diberi pahala jika dikerjakan, dan disiksa jika ditinggalkan dan dihukumi kafir jika meninggalkannya.

2. Wajib
Adalah apa-apa yang dituntut untuk dikerakan oleh agama dengan tuntutan yang keras, dengan dalil yang dzan (tidak pasti), seperti, wajibnya zakat fitrah, shalat witir dengan dalil dari hadits ahad (tidak mutawatir).. Menurut qaidah lain, sesuatu yang diberi pahala jika dikerjakan, dan disiksa jika ditinggalkan dan tetapi tidak dihukumi kafir jika meninggalkannya. Jumhur ulama menyamakan antara wajib dan fardlu kecuali Madzhab Al-Hanafiyah

3. Al-Mandub atau Sunnah
Apa-apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh syara’ tetapi tidak dengan keras, atau apa-apa yang diberi pahala ketika mengerjakannya tetapi tidak disiksa jika meninggalkanya. Contohnya, menulis perjanjian utang, sahalat sunnah rawatib, puasa sunnah dan lainnya. Para ulama menamakan mandub dengan nafilah, mustahab, tatawu’, muragab fihi, ihsan dan hasan, kecuali Al-Hanafiyah, beliau membagi mandub kepada mandub muakkad seperti shalat jam’ah, mandub masyru’ seperti shaum hari senin dan kamis, mandub zaid seperti meniru Rasul SAW. dalam makan dan minum.

4. Haram
Adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan oleh agama dengan tuntutan yang keras, menurut Al- Hanafiyah, sesuatu yang harus ditinggalkan berdasarkan dalil yang qath’i seperti, haramnya membunuh, minum khamar, berzina dan lain sebagainya. Maka hukumnya wajib menjauhinya dan akan disiksa ketika meninggalkannya, Al-hanafiyah menamakan haram juga dengan, ma’shiyah, dzanba, qabih, mazjur anhu, muatawaidan alaih.

5. Makruh Tahrim
Adalah apa yang harus dituntut untuk ditinggalkan oleh agama dengan tuntutan yang keras tetapi dengan dalil dzani, seperti haramnya menjual dagangan orang lain, haramnya mengkhitbah yang sudah dikhitbah oleh orang lain, haramnya memakai sutra, dan emas bagi laki-laki Apa bila ulama Al-Hanafiyah mengatakan makruh biasanya makruh tahrim dan hal ini lebih dekat kepada haram menurut mereka.

6. Makruh Tanzih
Menurut Al-Hanafiyah, adalah sesutau yang dituntut oleh agama untuk ditinggalkan tetapi tidak keras tuntutannya dan tidak disiksa bila sampai melakukannya, seperti wudlu dari bekas ludah kucing, memakan hasil buaruan burung seperti elang dan gagak dan lain sebagainya Menurut jumhur ulama makruh hanya satu jenis yaitu sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan oleh agama dengan tuntutan yang tidak keras, atau dengan kata lain sesuatu yang diberi pahala ketika meninggalkannya tetapi tidak disksa ketika mengerjakannya.

7. Mubah
Adalah apa-apa yang diperbolehkan oleh agama, baik ditinggalkan atau dikerjakan, seperti makan, minum, tidur, berjalan dan lain sebagainya

Kedua : Yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri
1. Sabab (sebab, faktor)
Adalah susuatu yang menjadikan hukum itu ada, apakah hal itu di akui oleh syara’ atau tidak. Misalnya, memabukan adalah yang menyebabkan keharaman khamar, safar (bebrgian) yang menjadi sebab dibolehakanya berbuka shaum di bulan Ramadhan dan diperbolehlkannya mengqoshor shalat, sedang sebab yang tidak diakui oleh syara’ misalnya, tergelincir matahari yang menyebbkan diwajibkannya shalat Dzuhur atau terlihatnya hilal di bulan Sya’ban menjadi sebab diwajibkannya shaum pada esok harinya.

2. Syarat
Adalah sesuatu yang menyebabkan sahnya sesuatu tetapi bukan bagian dari sesuatu, seperti, wudlu yang menjadi syarat shahnya shalat tapi wudlu bukan bagian dari shalat.

3. Rukun
Sesuatu yang menyebabkan shahnya sesuatu dan merupakan bagian dari sesuatu, , mislanya, takbiratul ihram adalah yang menyebabkan shahnya shalat dan takbiraul ihram merupakan bagian dari shalat.

4. Mani’ (penghalang)
Sesutu yang apa bila ada menyebabkan hukum menjadi tidak ada atau menjadi bathal karenanya, contohnya, adanya najis pada pakaian menjadi sebab tidak shahnya hokum shalat, atau punya utang menjadi sebab tidak wajibnya zakat bagi seseorang.

5. Sah/shahih
Apa-apa yang terpenuhi rukun dan syaratnya menurut Syara’ misalnya, shalat yang dilakukan menurut rukun dan syaratnya, menyebabkan shalat itu shah.
6. Bathil (batal)
Sebaliknya dari Shahih menurut jumhur ulama, adapun menurut ulama Al-Hanafiyah bathil adalah, sesuatu yang terdapat cacat dalam aqad pokok, yang merupaan rukun dari sesuatu itu. Misalnya, kesalahan dalam akad jual beli, kesalahan pada yang melakukan aqadnya misalnya ia orang gila atau anak kecil.

7. Fasid (rusak)
Menurut jumhur ulama sama dengan bathil, tetapi menurut ulama Al-Hanafiyah adalah sesuatu yang terdapat cacat dalam satu kriteria aqad atau dalam salah satu syaratnya. Misalnya, menjual barang dengan harga yang tidak diketahui, menikahkan tanpa saksi, maka muamalah itu menjadi fasid karena salah satu kriteria syaratnya tidak terpenuhi.

8. Al-ada'
Mengerjakan suatu kewajiban pada waktu yang ditentukan menurut syara’ misalnya, shalat atau shaum pada waktunya.

9. Al-I’adah (mengulang)
Mengerjakan suatu kewajiban yang kedua kalinya pada waktunya. Misalnya mengerjakan shalat berjama’ah di masjid setelah mengerjakannya dirumah, atau mengulang puasa kedua kalinya karena yang pertama tidak sah karena suatu sebab.

10. Al-Qadla
Mengerjakan suatu kewajiban setelah lewat waktunya, seperti mengerjakan shalat yang terlupa karena tidur atau yang lainnya (tidak disengaja) misalnya, mengerjakan shlat shubuh sedang matahari sudah tinggi.

11. Azimah
Peraturan agama yang pokok yaitu sebelum perauran itu tidak ada peraturan lain yang mendahuluinya dan beralaku umum bagi seluruh mukallaf dalam semua keadaan dan waktu sejak dari semulanya. Seperti kewajiban shalat lima waktu dengan jumlah rekaat yang ditentukan secara sempurna. Lawannya adalah rukhsah. Contoh lain, semua bangkai haram dimakan oleh semua orang dan dlam keadaan apapun, ini disebut peraturan pokok atau azimah.

12. Rukhshah
Peraturan tambahan yang dijalankan berhubung ada hal-hal yang memberatkan (masyaqqah) sebagai pengecualian dari peraturan-peraturan pokok. Contoh, dalam keadaan terpaksa bangkai boleh dimakan asal tidak maksud
menentang dan berlebih-lebihan, maka hal itu disebut rukhshah.


C.    Isthilah-isthilah khusus yang berakaitan dengan hukum yang biasa digunakan oleh para ulama dlam menetapkan hukum syara’

1. Umum dan Khusus (aam dan khas)
Umum dan khusus termasuk ke dalam salah satu aturan untuk memahami maksud Al-Qur’an dan hadits, karena ayat dengan ayat atau dengan hadits biasanya saling menjelaskan tentang kandungan maknanya, diantaranya ada lafzdz yang am (umum) dan ada juga yang khas (khusus).
Menurut definisi umum adalah, suatu lafadz yang digunakan untuk menunjukan suatu makna yang dapat terwujud pada satuan-satuan yang banyak yang tidak terhitung, misalnya dalam surat Al-Hujurat ayat 18 Allah berfirman, “Dan Allah mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan” ayat ini umum menunjukan bahwa semua amal baik kecil besar terlihat ataupun tidak, baik jelek ataupun baik pasti diketahui oleh Allah, maka lafadz apa-apa termasuk dalam lafadz umum karena tidak terbatas. Menurut definisi khusus adalah, suatu lafadz yang digunakan menunjukan satu orang, satu benda nama tempat atau yang lainnya. Katika ada dua lafadz satu umum satu khas maka lafadz umum harus di kecualikan (ditakhsis) oleh yang khas tadi. Misalya ketika Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 29,
“Dialah Allah yang telah menjadikan apa-apa yang ada di muka bumi ini untuk kalian…”
berarti kita boleh memanfaatkan segala apa yang ada dimuka bumi ini termasuk daging babi, khamar (arak) dan lain sebagainya, karena dalam ayat lain Allah mengaharamkan khamar dan daging babi berarti kita tak boleh lagi memakai dalil umum untuk memakan daging babi atau minum khmar karena ayatnya sudah dikecualikan. Dengan demikina dapat dikatakan bahwa khas adalah tafsir atau penjelasan untuk menegaskan batas yang dimaksud oleh kata-kata yang umum.

2. Muthlaq dan muqayyad
Muthlaq adalah, lafadz yang menunjukan suatu hal atau barang atau orang tertentu tanpa ikatab (batasan) yang tersendiri. Contoh firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 2 “Diharamkan atas kalian bangkai darah, dan daging babi” berart semua darah dan daging babi haram dimakan. Muqayyad adalah, suatu lafadz yang menunjukan sesuatu barang atau barang tidak tertentu disertai ikatan (batasan) yang tersendiri berup perkataan, bukan isyarat.
Contoh firman Allah dalan surat Al-Anam 145 “Katakanlah, “aku tidak peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepadaku sesuatu makanan yang diharamkan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi…” Berarti kalimat darah dalam ayat Al-Maidah sudah dibatasi (ditaqyid) oleh ayat Al-Anam yaitu kaimat “yang mengalir” Menurut jumhur ulama apabila ada lafadz muthlaq dan muqayyad yang sama hukum dan sebabnya, maka lafadz muthlaq harus dibawa kepada muqayyad yang menjadi penjelasan bagai lafadz muthlaq, bararti yang haram adalah darah yang mengalir saja bukan semua darah.

3. Mujmal dan Mubayyan
Mujmal adalah lafadz/perkataan yang belum jelas maksudnya, seperti kalimat, “Dirikanlah oleh kalian “shalat”…”maka kata shalat dalam Al-Qur’an ini masih mujmal sebab shalat bisa berarti berdo’a atau perbuatan, belum dijelaskan apa maksudnya. Mubayyan, ialah suatu perkataan yang terang maksud/tanpa memerlukan penjelasan lainnya. Bisa dari ayat itu sendiri atau dari hadits Nabi SAW. Seperti firman Allah,
“Apa bila kalian hendak mendirikan shalat maka cucilah muka-muka kalian dan tangan-tangan kalian………”

4. Manthuq dan Mafhum
Manthuq adalah hukum yang ditunjukan oleh ucapan lafadz itu sendiri. Mantuq dibagi dua :
a.Nas, yaitu suatu lafadz atau perkataan yang jelas dan tidak mungkin ditakwilkan, seperti Allah wajibkan pada kalian sahaum, Allah haramkan pada kalian bangkai, darah dan daging babi. Maka kata-kata wajib dan haram tdak bisa ditakwilkan menjadi sesutu yang boleh dikerjakan atau boleh ditinggalkan, sebab memang nashnya seperti itu.

b. Dzahir adalah lafadz yang menunjukan suatu makna secara tekstual
Tapi makna ini bukan sesuatu yang dimaksud, atau sesuatu yang memerlukan takwil/keterangan, seperti firman Allah,”Tanyakanlah oleh kalian kampung tersebut…..” Maka secara dzahir yang ditanya itu kampung tapi ini bukan maksud sebenarnya karena kampung tidak bisa ditanya oleh
karena itu ayat ini memerlukan takwil atau penjelasan diiantara dengan dengan kaidah bahasa atau majaz. Mafhum ialah hukum yang tidak ditunjukan oleh lafadz itu sendiri tapi berdasarkan pemahaman terhadap lafadz. Misalnya, firman Allah surat Al-Isra ayat 23, “Janganlah mengucapkan kata-kata “uf’” kepada kedua orang tua dan jananlah menghardik keduanya…” berarti memukul kedua orang tua lebih diharamkan karena mengucapkan kata-kata kasar sudah tidak boleh apalagi memukul
Contoh lain, firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 10, “Mereka yang memakan harta benda anak-anak yatim dengan aniaya sebenarnya memakan api ke dalam perutnya…” berarti membakar harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim karena karena membuat sesuatu keddzoliman terhadap anak yatim.














B.   Syari’ah

Pengertian Syariah
Secara definisi, Syariah merupakan aturan atau undang-undang yang diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan sesama manusia, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Syariah mengatur hidup manusia sebagai individu, yaitu hamba Allah yang harus taat, tunduk dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalambentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh Syariah Islam.
Dengan berkembangnya zaman, umat Islam kini semakin sadar akan pentingnya ilmu keislaman atau yang dapat kita sebut dengan Syariah. Ada beberapa faktor yang mendorong umat Islam untuk mengetahui Syariah lebih dalam, antara lain:
1.Syariah merupakan bagian dari identitas keislaman seseorang
Seorang muslim dengan seorang non-muslim dapat dibedakan berdasarkan apa yang diketahuinya mengenai ajaran Islam serta diyakini keberadaanya.
2.Allah SWT mewajibkan setiap muslim belajar Syariah
Seorang muslim yang telah aqil baligh memiliki kewajiban untuk mempelajari Islam beserte seluruh komponennya.
3.Syariah adalah kunci untuk memahami Al-Quran dan As Sunnah
Seorang muslim wajib memahami dua buah perkara yang merupakan warisan dari Rasulullah SAW, yaitu Al-Quran dan As Sunnah. Untuk dapat memahami kedua perkara tersebut, maka syariah adalah kunci utamanya.
Syariah Islam adalah tata cara pengaturan tentang perilaku hidup manusia untuk mencapai keridhoan Allah swt yang dirumuskan dalam Al-quran, Yaitu :

1. Surat Asy-Syura ayat 13

Artinya : Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kamu wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya) (Quran surat Asy-Syura ayat 13).

2. Surat Asy-Syura ayat 21

Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diijinkan Allah ? sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah tentukanlah mereka dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang pedih. (Qur’an Surat Asy-Syura Ayat : 21).

3. Surat Al-Jatsiyah ayat 18


Artinya : Kemudian kami jadikan kamu berada di atas syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (Qur’an Surat Al-Jatsiyah ayat : 18).
                Ilmu syari'ah sering diidentikkan dengan fikih. Penyebutan ini tidak seluruhnya benar, sebab syari'ah dipahami sebagai wahyu Allah dan sabda Nabi Muhammad, yang berarti  din al-islam, sementara fikih adalah pemahaman ulama terhadap sumber ajaran agama Islam tersebut.
                Demikian juga istilah “hukum Islam” sering diidentikkan dengan kata norma Islam dan ajaran Islam. Dengan demikian, padanan kata ini dalam bahasa Arab barangkali adalah kata “al-syari’ah”. Namun, ada juga yang mengartikan kata hukum Islam dengan norma yang berkaitan dengan tingkah laku, yang padanannya barangkali adalah “al-fiqh”.

                Penjabaran lebih luas dapat dijelaskan sebagai berikut: bahwa kalau diidentikkan dengan kata “al-syari’ah”, hukum Islam secara umum dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. 

Syari'ah Dalam Arti Luas
                Dalam arti luas “al-syari’ah” berarti seluruh ajaran Islam yang berupa norma-norma  ilahiyah, baik yang mengatur tingkah laku batin (sistem kepercayaan/doktrinal)  maupun tingkah laku konkrit (legal-formal) yang individual dan kolektif. 

                Dalam arti ini,  al-syariah identik dengan din, yang berarti meliputi seluruh cabang pengetahuan keagamaan Islam, seperti kalam, tasawuf, tafsir, hadis, fikih, usul fikih, dan seterusnya. (AkidahAkhlak dan Fikih)

Syari'ah Dalam Arti Sempit
                Sedang dalam arti sempit al-syari’ah berarti norma-norma yang mengatur sistem tingkah laku individual maupun tingkah laku kolektif. Berdasarkan pengertian ini, al-syari’ah dibatasi hanya meliputi ilmu fikih dan usul fikih.

                Syari'ah dalam arti sempit itu sendiri dapat dibagi menjadi tiga bidang yaitu:
1. ibadah
2. mu’amalah
3. uqubah 

Pengertian Syariah Islam Dalam Kehidupan
Ketentuan-ketentuan sebagaimana dirumuskan dalam syariah, wajib dipatuhi. Orang Islam yakin bahwa ketentuan Allah SWT yang terdapat dalam syariah itu adalah ketentuanm Allah SWT yang bersifat universal, oleh karena itu merupakan hukum bagi setiap komponen dalam satu sistem. Hal ini berarti bahwa setiap ketentuan yang ditinggalkannya atau dilanggar bukan saja akan merusak lingkungannya tetapi juga akan menghilangkan fungsi parameter dalam komponen atau fungsi komponen dalam sisten.
Sebagai contoh, seseorang menyalahi janji, berdusta, zina, mencuri, korupsi, dan lain-lain. Dalam syariah Islam ada istilah rukshoh (keringanan) apabila seseorang tidak dapat melaksanakan kewajibannya secara normal, maka ia boleh melaksanakannya dengan cara lain sesuai dengan kekuatan, kemungkinan, dan kondisi, seperti sholat sambil duduk.

Ruang Lingkup Syariah
Ruang lingkup syariah lain mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut :

1.       Ibadah
yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT (ritual), yang terdiri dari :
a. Rukun Islam : mengucapkan syahadat, mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan haji.
b. Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rumun Islam.
2.        Badani (bersifat fisik)
bersuci meliputi wudlu, mandi, tayamum, pengaturan menghilangkan najis, peraturan air, istinja, adzan, qomat, I’tikaf, do’a, sholawat, umroh, tasbih, istighfar, khitan, pengurusan mayit, dan lain-lain.
3.       Mali (bersifat harta)
Yaitu, qurban, aqiqah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah, hibbah, dan lain-lain.
4.       Muamalah
yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan yang lainnya dalam hal tukar-menukar harta (jual beli dan yang searti), diantaranya : dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerja sama dagang, simpanan, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang-piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, titipan, jizah, pesanan, dan lain-lain.
5.       Munakahat
yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hubungan berkeluarga (nikah, dan yang berhubungan dengannya), diantaranya : perkawinan, perceraian, pengaturan nafkah, penyusunan, memelihara anak, pergaulan suami istri, mas kawin, berkabung dari suami yang wafat, meminang, khulu’, li’am dzilar, ilam walimah, wasiyat, dan lain-lain.

6.        Jinayat
yaitu peraturan yang menyangkut pidana, diantaranya : qishsash, diyat, kifarat, pembunuhan, zinah, minuman keras, murtad, khianat dalam perjuangan, kesaksian dan lain-lain.
7.        Siyasa
yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik), diantaranya : ukhuwa (persaudaraan) musyawarah (persamaan), ‘adalah (keadilan), ta’awun (tolong menolong), tasamu (toleransi), takafulul ijtimah (tanggung jawab sosial), zi’amah (kepemimpinan) pemerintahan dan lain-lain.
8.        Akhlak
yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar, tawadlu, (rendah hati), pemaaf, tawakal, istiqomah (konsekwen), syaja’ah (berani), birrul walidain (berbuat baik pada ayah ibu), dan lain-lain.
9.        Peraturan-peraturan lainnya
 seperti : makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar, pemberantasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah, perang, dan lain-lain.

Sumber-Sumber Syariah
1.Al-Qur’an, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan merupakan Undang-Undang yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok.
2. Al-Hadist (As-Sunnah), sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan dan rincian terhadap hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifat umum.
3. Ra’yu (Ijtihad), upaya para ahli mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menetapkan hukum yang belum ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.






Klasifikasi Syariah
Syariah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Wajib (Ijab), yaitu suatu ketentuan yang menurut pelaksanaannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan mendapat dosa.

2. Haram, yaitu suatu ketentuan apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan mendapat dosa. Contohnya : zinah, mencuri, membunuh, minum-minuman keras, durhaka pada orang tua, dan lain-lain.

3. Sunnah (Mustahab), yaitu suatu ketentuan apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.

4. Makruh (Karahah), yaitu suatu ketentuan yang menganjurkan untuk ditinggalkannya suatu perbuatan; apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan tidak berdosa. Contohnya : merokok, makan bau-bauan, dan lain-lain.

Ibadah Sebagai Bagian Dari Syariah
Syariah mengatur hidup manusia sebagai hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh Syariah Islam. Esensi ibadah adalah penghambaan diri secara total kepada Allah sebagai pengakuan akan kelemahan dan keterbatasan manusia di hadapan kemahakuasaan Allah. Dengan demikian salah satu bagian dari syariah adalah ibadah.
Secara umum Ibadah berarti mencakup semua perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Ibadah dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan tugas hidup manusia. Sebagaimana dalam Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Adz-Dzariyah ayat 56 yang berbunyi :


Artinya : “Dan aki tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Adz-Dzariyat : 56).

Secara khusus Ibadah berarti perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah SWT dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, seperti shalat, dzikir, puasa, dan lain-lain.
Landasan dasar pelaksanaan syariah adalah aqidah (keimanan). Dengan aqidah yang kuat maka syariah dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuan Allah SWT.


C.   Perbedaan Syariah dan Fiqih

Terdapat beberapa perbedaan antara Syariah dan ilmu Fiqih, Perbedaan tersebut antara lain adalah:
Perbedaan
Syariah
Fiqih
Obyek
Obyek Syariah meliputi bukan saja batin manusia, akan tetapi juga sifat lahir manusia dengan Tuhannya (Ibadah).
Obyek Fiqih adalah peraturan manusia yaitu hubungan lahir antara manusia dengan manusia, manusia dengan makhluk lain dan alam semesta.
Sumber
Sumber pokok Syariah berasal dari wahtu Illahi atau kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari wahyu seperti Al-Quran dan Hadits.
Fiqih berasal dari hasil pemikiran manusia dan kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat atau hasil ciptaan manusia dalam bentuk peraturan atau Undang-Undang.
Sanksi
Sanksinya adalah pembalasan Tuhan di Akhirat, tapi terkadang tidak terasa oleh manusia di dunia sanksinya yang tidak langsung.
Semua norma sanksi bersifat sekunder, dengan menunjuk pelaksana negara sebagai pelaksana sanksinya.
Ruang lingkup
Syariah itu fundamental, ruang lingkupnya sangat luas karena didalamnya mengatur akhlak dan akidah (abstracto).
Fiqih itu instrumental, ruang lingkupnya terbatas (concrito).
Jangka waktu
Syariah berlaku abadi karena merupakan ketetapan dari Allah SWT dan ketentuan Rasulullah SAW.
Fiqih tidak berlaku abadi karena merupakan karya manusia. Fiqih dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Sifat
Syariah menunjukan kesatuan dalam Islam, dan hanya ada satu.
Fiqih menunjukan keragaman, dimungkinkan melenihi dari satu aliran hukum/madzhab.
Walaupun terdapat beberapa perbedaan antara Syariah dan Fiqih, kedua hal tersebut mempunyai persamaan yaitu Syariah dan Fiqih merupakan dua hal yang mengarahkan manusia ke jalan yang benar.

Sumber: Dari berbagai macam website